http://www.majalahsaksi.com/suarasaksi
Selasa, 17 Januari 2006 - oleh : saksi
Melakoni hidup kadang seperti memainkan sebuah peran dalam pentas
sandiwara. Seribu satu upaya dilakukan agar peran bisa benar-benar
menarik. Kreasi gaya pun bisa ditambah dan dikurang. Cuma satu yang
tetap: jatah waktu.
Ada yang menarik dari salah satu penggalan episod hidup seorang Fudhail
bin Iyadh. Tokoh sufi yang hidup beberapa puluh tahun setelah kepergian
Rasulullah saw. ini pernah mengalami sisi gelap seorang manusia. Sebelum
taubat, ia pernah menjalani profesi yang sangat buruk. Tidak
tanggung-tanggung, Fudhail pernah berprofesi sebagai perampok kejam.
Korban bukan hanya dirampok, tapi juga dibunuh.
Sinar hidayah yang ia dapatkan justru menyeruak ketika ia hendak
merampok seorang wanita. Dalam kegelapan malam, ketika Fudhail diam-diam
menghampiri, wanita itu sedang membaca Alquran. Hatinya tiba-tiba
bergemuruh ketika wanita itu membacakan surah Al-Hadid ayat keenam
belas.
"Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk
hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun
(kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang
sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa
yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan
di antara mereka adalah orang-orang yang fasik."
Saat itu juga, seluruh persendiannya terasa lemas. Fudhail seperti
diperlihatkan sederet pragmen kehidupannya yang kelam. Perampok yang
terkenal kejam ini pun tiba-tiba menangis. Sejak itu, ia habiskan sisa
hidupnya untuk melayani umat Islam yang beribadah di Masjidil Haram.
Mungkin, tidak banyak yang bisa mengubah isi ruang-ruang waktunya
sedrastis Fudhail bin Iyadh. Tidak banyak yang sepeka Fudhail ketika
tersentuh teguran Allah swt. yang begitu halus: belumkah datang waktunya
bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka mengingat
Allah....
Pergantian tahun, perpindahan generasi, peralihan peran; begitu saja
berlalu tanpa sedikit pun memberikan pelajaran. Seolah, hidup tak lebih
dari sekadar menikmati hak yang diberikan alam. Tanpa nilai, tanpa
tanggung jawab. Selama masih bisa menikmati hidup, tak satu pun yang
mesti dipedulikan.
Maha Benar Allah dalam firman-Nya, "...Dan orang-orang kafir bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang.
Dan jahannam adalah tempat tinggal mereka." (QS. 47: 12)
Di antara bentuk kelalaian sebagian umat Islam adalah menangkap bahwa
pergantian tahun tak lebih dari sekadar kesempatan berpesta dan hura-hura. Persis seperti yang diajarkan masyarakat Barat. Umat Islam
pun menjadi ikut dan larut.
Pelajaran seperti yang difirmankan Allah swt. dalam surah Al-Hadid di
atas, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka
menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang
fasik, menjadi begitu penting untuk dimaknai.
Pertama, bentangan jatah waktu hidup yang begitu lama bukan sesuatu yang
gratis. Bukan juga seperti yang dipahami Barat sebagai hak hidup dari
alam. Ruang-ruang waktu yang begitu lapang mesti terisi dengan ibadah
kepada Allah swt. Itulah yang mestinya dilakukan orang yang beriman.
Pergantian hari, minggu, bulan, dan tahun; adalah untaian panjang irama
zikir kepada Allah: dalam keadaan berdiri, duduk, atau berbaring.
"...(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk
atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan
langit dan bumi (seraya berkata): 'Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau
menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami
dari siksa neraka." (QS. 3: 191)
Kedua, pergantian tahun adalah tanda kalau jatah usia kian berkurang.
Inilah yang kerap terlupakan. Pergantian tahun menjadi ajang hura-hura.
Seolah, tahun baru berarti pertambahan jatah hidup. Inilah kesalahan
fatal sebagai buah dari kelalaian.
Justru, pergantian tahun adalah momentum yang baik sebagai sarana
melakukan muhasabah atau evaluasi diri. Umar bin Khaththab pernah
mengatakan, "Haasibuu qobla antuhaasabuu!" Hitunglah amalmu, sebelum
Allah swt. yang menghitungnya di hari hisab.
Saat ini, kita berada di antara dua pergantian tahun. Satu yang baru
saja berlalu, yaitu tahun masehi. Dan tak lama lagi, adalah pergantian
tahun Hijriyah. Suatu momen yang begitu mahal. Kalau tahun masehi
berganti begitu saja. Mungkin, di tahun Hijriyah akan lebih punya makna.
Saatnya menghitung diri.
Alangkah indahnya pengalaman hidup yang dialami Fudhail bin Iyadh. Ia
terselamatkan dari bacaan surah Al-Hadid ayat keenam belas. Kini,
kitalah yang mestinya menentukan: akankah ayat itu bisa menyadarkan kita
tentang makna sebuah peran dan jatah waktu. Silakan improvisasi, tapi
waktu pasti membatasi.
Muhammad Nuh
Milis Sabili
Dikirim oleh: Ummu Ja'far
Jum'at, 20 Januari 2006
Cetak Artikel
|