Kaligrafi Nama AllahLogo Situs Keluarga ilma95
Home
 ~  Home
 | 
Pedoman Shalat
Pedoman Shalat
 | 
Ilmu Tajwid
Ilmu Tajwid
 | 
Pojok Anak
Pojok Anak
 | 
Kumpulan Artikel
Artikel
 | 
Lagu Rancak Ranah Minang
Lagu Rancak
Ranah Minang
 | 
Cerdas Cermat Islami
Cerdas Cermat Islami
 | 
Edukasi
Edukasi
 ~ 
 




http://www.majalahsaksi.com/suarasaksi
Selasa, 17 Januari 2006 - oleh : saksi

Melakoni hidup kadang seperti memainkan sebuah peran dalam pentas sandiwara. Seribu satu upaya dilakukan agar peran bisa benar-benar menarik. Kreasi gaya pun bisa ditambah dan dikurang. Cuma satu yang tetap: jatah waktu.

Ada yang menarik dari salah satu penggalan episod hidup seorang Fudhail bin Iyadh. Tokoh sufi yang hidup beberapa puluh tahun setelah kepergian Rasulullah saw. ini pernah mengalami sisi gelap seorang manusia. Sebelum taubat, ia pernah menjalani profesi yang sangat buruk. Tidak tanggung-tanggung, Fudhail pernah berprofesi sebagai perampok kejam. Korban bukan hanya dirampok, tapi juga dibunuh.

Sinar hidayah yang ia dapatkan justru menyeruak ketika ia hendak merampok seorang wanita. Dalam kegelapan malam, ketika Fudhail diam-diam menghampiri, wanita itu sedang membaca Alquran. Hatinya tiba-tiba bergemuruh ketika wanita itu membacakan surah Al-Hadid ayat keenam belas.

"Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik."

Saat itu juga, seluruh persendiannya terasa lemas. Fudhail seperti diperlihatkan sederet pragmen kehidupannya yang kelam. Perampok yang terkenal kejam ini pun tiba-tiba menangis. Sejak itu, ia habiskan sisa hidupnya untuk melayani umat Islam yang beribadah di Masjidil Haram.

Mungkin, tidak banyak yang bisa mengubah isi ruang-ruang waktunya sedrastis Fudhail bin Iyadh. Tidak banyak yang sepeka Fudhail ketika tersentuh teguran Allah swt. yang begitu halus: belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka mengingat Allah....

Pergantian tahun, perpindahan generasi, peralihan peran; begitu saja berlalu tanpa sedikit pun memberikan pelajaran. Seolah, hidup tak lebih dari sekadar menikmati hak yang diberikan alam. Tanpa nilai, tanpa tanggung jawab. Selama masih bisa menikmati hidup, tak satu pun yang mesti dipedulikan.

Maha Benar Allah dalam firman-Nya, "...Dan orang-orang kafir bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang. Dan jahannam adalah tempat tinggal mereka." (QS. 47: 12)

Di antara bentuk kelalaian sebagian umat Islam adalah menangkap bahwa pergantian tahun tak lebih dari sekadar kesempatan berpesta dan hura-hura. Persis seperti yang diajarkan masyarakat Barat. Umat Islam pun menjadi ikut dan larut.

Pelajaran seperti yang difirmankan Allah swt. dalam surah Al-Hadid di atas, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik, menjadi begitu penting untuk dimaknai.

Pertama, bentangan jatah waktu hidup yang begitu lama bukan sesuatu yang gratis. Bukan juga seperti yang dipahami Barat sebagai hak hidup dari alam. Ruang-ruang waktu yang begitu lapang mesti terisi dengan ibadah kepada Allah swt. Itulah yang mestinya dilakukan orang yang beriman. Pergantian hari, minggu, bulan, dan tahun; adalah untaian panjang irama zikir kepada Allah: dalam keadaan berdiri, duduk, atau berbaring.

"...(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): 'Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka." (QS. 3: 191)

Kedua, pergantian tahun adalah tanda kalau jatah usia kian berkurang. Inilah yang kerap terlupakan. Pergantian tahun menjadi ajang hura-hura. Seolah, tahun baru berarti pertambahan jatah hidup. Inilah kesalahan fatal sebagai buah dari kelalaian.

Justru, pergantian tahun adalah momentum yang baik sebagai sarana melakukan muhasabah atau evaluasi diri. Umar bin Khaththab pernah mengatakan, "Haasibuu qobla antuhaasabuu!" Hitunglah amalmu, sebelum Allah swt. yang menghitungnya di hari hisab.

Saat ini, kita berada di antara dua pergantian tahun. Satu yang baru saja berlalu, yaitu tahun masehi. Dan tak lama lagi, adalah pergantian tahun Hijriyah. Suatu momen yang begitu mahal. Kalau tahun masehi berganti begitu saja. Mungkin, di tahun Hijriyah akan lebih punya makna. Saatnya menghitung diri.

Alangkah indahnya pengalaman hidup yang dialami Fudhail bin Iyadh. Ia terselamatkan dari bacaan surah Al-Hadid ayat keenam belas. Kini, kitalah yang mestinya menentukan: akankah ayat itu bisa menyadarkan kita tentang makna sebuah peran dan jatah waktu. Silakan improvisasi, tapi waktu pasti membatasi.

Muhammad Nuh

Milis Sabili
Dikirim oleh: Ummu Ja'far
Jum'at, 20 Januari 2006


Cetak Artikel
  Cetak Artikel