Kaligrafi Nama AllahLogo Situs Keluarga ilma95
Home
 ~  Home
 | 
Pedoman Shalat
Pedoman Shalat
 | 
Ilmu Tajwid
Ilmu Tajwid
 | 
Pojok Anak
Pojok Anak
 | 
Kumpulan Artikel
Artikel
 | 
Lagu Rancak Ranah Minang
Lagu Rancak
Ranah Minang
 | 
Cerdas Cermat Islami
Cerdas Cermat Islami
 | 
Edukasi
Edukasi
 ~ 
 




Selasa, 1 Agustus 2006

Jurnalis Kontributor: Dewi Candraningrum

Jurnalperempuan.com-Jerman. Sejak RUU APP dan beberapa Perda Syariah di beberapa daerah di Indonesia diluncurkan dan menjadi bahan perdebatan nasional, wacana Islam Indonesia mendapat sorotan tajam dari beberapa media barat. Digambarkan seolah-olah Islam menjadi ancaman bagi hak-hak perempuan di Indonesia. Beberapa media barat memberitakan kontroversi tersebut secara sepihak dengan menggambarkan bahwa Islam di Indonesia telah menganggu jalannya proses demokrasi.

Hal ini terungkap dalam seminar sehari bertajuk *"Neue Willkuer gegen Frauen in Indonesien: Frauenrechte zwischen Islamisierung und Demokratie (Menimbang Nasib Perempuan Indonesia: Hak-hak Perempuan antara Islamisasi dan Demokrasi)" di Muenster, North Rhein Westfalia, Jerman, Sabtu (15/7), yang diselenggarakan LSM Asienhaus, bekerja sama dengan Partai Keadilan sejahtera (PKS) Jerman, Watch Indonesia!, IMBAS, Eine Welt Forum Aachen e.V., serta organisasi-organisasi pelajar Indonesia di Muenster seperti KMKI (Persatuan Pelajar Katolik Indonesia) dan PPI (Persatuan Pelajar Indonesia).

Seminar ini sendiri diselenggarakan untuk merespon perkembangan nasib perempuan Indonesia yang seolah terjepit antara cita-cita demokrasi dan gerakan Islamisasi. Di tengah upaya demokratisasi di berbagai sektor, perempuan sering kali menjadi pihak yang terlupakan. Bahkan perkembangan terbaru yang ditandai oleh gencarnya upaya formalisasi syariah Islam di berbagai daerah juga makin memperparah kondisi perempuan, karena perempuan selalu dijadikan objek untuk disalahkan dan diatur.

Ada empat pembicara yang mewakili berbagai kelompok sosial sekaligus perspektif yang beragam tampil dalam seminar tersebut. Pembicara pertama, Sahiron Syamsuddin, dosen UIN Yogyakarta yang sedang merampungkan disertasi tentang pemikiran Islam di Universitas Bamberg Jerman, mewakili perspektif Muslim progresif. Pembicara kedua, Dr. Syamsuddin Arief, wakil PKS Jerman, mewakili perspektif Muslim konservatif. Pembicara ketiga, Dr. Soe Tjen Marching, dosen School of Oriental and African Studies (SOAS) University of London Inggris, mewakili suara perempuan dan minoritas Indonesia. Sedangkan pembicara keempat Judith Melzer, kandidat doktor Universitas Frankfurt, mewakili pengamat Jerman tentang Indonesia.

Menuju Monogami: Poligami bukan Praktek Lazim di Indonesia

Dalam paparan makalahnya, Sahiron Syamsuddin menjelaskan bahwa dalam Islam terdapat banyak penafsiran mengenai hukum dan ajaran Islam. Ada kelompok yang menekankan substansi ajaran Islam, ada pula yang lebih memperhatikan aspek bentuk dan simbolisme. Misalnya mengenai ajaran poligami, menurut Sahiron asal mula ajaran poligami dalam Islam adalah untuk membatasi jumlah istri. Sebelum datangnya Islam, orang Arab bisa memiliki istri dengan jumlah tidak terbatas, lalu Islam mengajarkan hanya boleh memiliki empat istri. Logikanya, tandas Sahiron, ajaran poligami itu harus dipahami mengacu kepada prinsip keadilan dan martabat perempuan. Ketika dalam konteks kehidupan masa sekarang yang sudah banyak berubah, di mana laki-laki dan perempuan semakin memiliki kesejajaran status dan kemampuan, maka ajaran poligami harus dipahami sebagai jalan menuju prinsip monogami. Sahiron menambahkan, kepada audiens yang kebanyakan adalah warga Jerman, bahwa poligami bukan praktik lazim di Indonesia. Jumlah orang yang melakukan poligami sangat sedikit. Menurutnya, praktek ini banyak berkembang di kalangan kyai yang memiliki banyak pesantren atau orang-orang kaya, bahkan pejabat-pejabat. Dia menandaskan bahwa mayoritas Muslim Indonesia tidak mempraktekkan poligami. Monogami bahkan menjadi pilihan Muslim Indonesia sejak Islam pertama masuk ke Indonesia pada abad ke-13 sampai dengan sekarang.

Negara Islam Indonesia?

Dalam paparan berikutnya, Dr. Syamsuddin Arief menggarisbawahi bahwa PKS sama sekali tidak memproyeksikan upaya untuk mendirikan Negara Islam di Indonesia. PKS sebagai partai Islam ikut berpartisipasi untuk membangun politik yang bersih dari korupsi serta menghormati keragaman agama dan budaya Indonesia. Meski PKS mendasarkan diri kepada Islam, namun bukan berarti PKS anti-Pancasila, karena Pancasila memang tidak bertentangan dengan Islam. Secara khusus menyangkut isu perempuan, mahasiswa yang sedang menempuh program doktor yang kedua ini menyatakan bahwa keprihatinan terhadap maraknya pornografi serta efeknya terhadap moralitas generasi muda sebenarnya bukan hanya datang dari PKS. Terbukti tidak kurang dari 144 organisasi Islam mendukung disahkannya Rancangan Undang-undang Anti Pornografi (RUU APP). RUU APP tersebut bukan untuk mengekang kebebasan perempuan, melainkan untuk menjaga martabat perempuan sendiri. Karena mayoritas warga Indonesia adalah Muslim, maka salah satu identitas utamanya tentu adalah ajaran agama Islam.

Sementara pembicara ketiga, Dr. Soe Tjen Marching, menunjukkan bahwa carut-marut nasib perempuan di Indonesia juga dipengaruhi oleh prasangka yang salah antara masyarakat Barat dan Muslim. Di satu sisi, banyak media masa Barat yang dengan ceroboh memberitakan isu RUU-APP seolah-olah Indonesia akan menjadi Negara Islam, atau bahwa Muslim Indonesia adalah fanatik. Padahal faktanya, banyak dari kalangan Muslim yang tidak setuju RUU tersebut. Banyak aktivis perempuan Muslim yang gigih memperjuangkan hak perempuan. Di sisi lain, dari kalangan Muslim ada kekhawatiran yang berlebihan terhadap segala yang datang dari Barat. Seolah setiap yang dari Barat selalu buruk. Dari perasaan takut dan curiga tersebut tampaknya telah mendorong kalangan Muslim konservatif untuk memperjuangkan RUU APP yang pada kenyataannya lebih banyak mengatur dan membatasi perempuan. Bahkan, memberikan kesan seolah-olah tubuh perempuan dan seksualitas adalah sesuatu yang menjijikkan dan tabu untuk dibicarakan. Di samping itu, upaya meluncurkan gerakan anti-pornografi telah mengalihkan perhatian masyarakat terhadap persoalan yang lebih penting, seperti pemberantasan korupsi, atau upaya memperadilkan Soeharto.

Pembicara keempat, Judith Melzer, mendiskusikan adanya gerakan perempuan di kalangan Muslim yang mencoba memperjuangkan hak-hak perempuan dengan atau tanpa simbol agama seperti Hizbut Tahrir, Rahima, dan Flower Aceh. Salah satu yang terpenting adalah upaya memperjuangkan Counter-Legal Drafting terhadap KHI, yang dilakukan oleh Siti Musdah Mulia dan tim yang bekerja di bawah Gender Team di Departemen Agama (GTMORA). Meskipun CLD ini ditolak oleh beberapa kelompok Islam konservatif di Indonesia, tetapi mendapatkan sambutan positif dan pujian dari beberapa NGO di Jerman. CLD tersebut merupakan usaha pembacaan kembali dan rekonstruksi terhadap hak-hak perempuan yang ada dalam Kompilasi Hukum Islam Indonesia sebelumnya. Meskipun usaha pada tingkat nasional kurang mendapat dukungan dari beberapa kelompok konservatif di Indonesia, dunia internasional justru mendukung usaha ini, terbukti dengan dilakukannya beberapa penerjemahan naskah CLD ini ke dalam bahasa Perancis, Jerman, Belanda, Denmark, Italia, Inggris, dan lain bahasa.

Di samping menjadi ajang diskusi tentang nasib perempuan di Indonesia, seminar yang berlangsung di aula Katholische Studierenden-und Hochschulgemeinde (KSHG) ini juga dimaksudkan untuk membuka ruang dialog, baik antara masyarakat Indonesia dan masyarakat Jerman, antara Muslim dan non-Muslim, serta antara Muslim yang pro dan kontra formalisasi hukum Islam. Sebagaimana banyak dikupas Soe Tjen Marching, masih banyak kesalahpahaman masyarakat Barat terhadap Islam. Media Barat banyak yang masih menunjukkan sikap Islamophobia, dengan menganggap Islam identik dengan kekerasan, bahkan terorisme. Di Jerman image tentang Islam lebih banyak diasosiasikan dengan Timur Tengah, sehingga mereka relatif tidak mengenal Islam Indonesia yang faktanya tidak serupa dengan Islam masyarakat Arab. Tampilnya tiga pembicara Indonesia, dengan latar belakang serta perspektif yang beragam, menghadirkan nuansa yang berbeda bahwa Indonesia memiliki keragaman yang dinamis, dan bahwa gambaran media Barat tentang Islam di Indonesia seringkali tidak akurat dengan hanya memfokuskan kepada kelompok Islam konservatif. Beberapa peserta juga menambahkan bahwa Islam di Indonesia telah digambarkan secara monolitik, padahal Muslim di Indonesia merupakan entitas plural dan tidak memiliki hanya satu narasi. Ketidakhati-hatian beberapa media tersebut telah memberikan gambaran sepihak tentang "kita yang berbudaya" dan "mereka yang tidak berbudaya (ref. Indonesia)".

Isu Gender dalam Proses Islamisasi Kebijakan Perlu Dikawal

Perda Syariah di beberapa daerah dan RUU APP mendapatkan sorotan tajam dari beberapa peserta karena hanya sibuk mengatur cara berpakaian perempuan dan membatasi ekspresi seni dan budaya. RUU APP mendapatkan kritik tajam karena tidak mengatur secara ketat ISP (Internet Service Provider). Di kebanyakan negara di Eropa, ISP mendapatkan kewajiban untuk mensupervisi pelanggan untuk mengeblok aliran pornografi dan kecabulan apabila memiliki anak di bawah usia 18 tahun. Dalam seminar ini PKS mendapatkan banyak kritik menyangkut interpretasi yang berbeda dalam regulasi pornografi di Indonesia dan menyepakati bahwa ISP perlu mendapatkan pengawasan secara ketat untuk melindungi anak-anak di bawah usia 18 tahun dari pornografi. Beberapa peserta tetap mengkritik PKS karena kurang kritis dalam melakukan revisi isi RUU APP yang dinilai beberapa kelompok perempuan dan seniman justru mendiskriminasi tubuh perempuan. Meskipun mendapatkan kritik tajam, PKS juga mendapatkan pujian dari masyarakat Jerman karena sebagai Partai Islam di Indonesia mampu terjun ke dalam proses demokratisasi di Indonesia dan dinilai bagus dalam mempromosikan "clean-government". Tetapi, PKS juga diharapkan menjadi salah satu Partai Islam di Indonesia yang ikut mendukung interpretasi progresif kebijakan-kebijakan hukum yang menyangkut hak-hak perempuan.

Secara kritis beberapa peserta menyampaikan urgensi pengaturan tindak-tindak korupsi di beberapa Perda Syariah yang selama ini terkesan lebih mengatur perempuan. Beberapa praktik Perda Syariah mendapatkan kritik tajam karena tidak mampu secara kritis menjerat elit-elit politik yang melakukan tindak korupsi. Perda Syariah merupakan suatu ekspresi identitas daerah dan lokal dari beberapa kantong komunitas Islam di Indonesia, tetapi ekspresinya dicurigai rawan pemboncengan agenda politik sesaat oleh beberapa elit penguasa dan agamawan yang tidak sensitif terhadap hak-hak minoritas dan perempuan. Bahkan pernyataan terakhir Yusuf Kalla yang mempromosikan nikah misyar kepada turis Arab mendapatkan kecaman keras dari masyarakat Indonesia di Jerman dan masyarakat Jerman. Yusuf Kalla telah dengan sangat tidak hati-hati memelintir praktek nikah a la Islam tersebut untuk menindas dan meniadakan hak-hak perempuan. Pernyataan Kalla bahwa dengan praktek ini beberapa anak hasil hubungan dengan turis Arab akan menghasilan keturunan yang bagus untuk bintang sinetron disinyalir berbau rasisme karena merendahkan ras Indonesia. Pernyataan Yusuf Kalla tersebut dinilai bersifat misoginis (menjual janda kepada turis Arab), rasis (hasil pernikahan dengan turis Arab menghasilkan keturunan yang bagus), dan mempolitisasi Islam (mendorong praktek nikah misyar yang sangat dikritik oleh umat Islam di Indonesia).

Dalam seminar sehari tersebut disampaikan beberapa rekomendasi bahwa proses Islamisasi dalam beberapa kebijakan di Indonesia perlu dikawal secara ketat oleh kelompok-kelompok Perempuan dan masyarakat Islam sendiri. Kelompok-kelompok Islam progresif telah dinilai secara positif mendukung proses demokratisasi dan isu gender di Indonesia. Komunikasi antarkelompok Islam di Indonesia baik yang konservatif dan progresif perlu ditingkatkan untuk melindungi hak-hak perempuan dalam proses aplikasi beberapa kebijakan yang berbau Islam. Seminar sehari ini telah memberikan wadah kepada beberapa presenter dari kelompok Islam konservatif dan progresif serta masyarakat dan mahasiswa Jerman untuk saling berdialog, berdiskusi dan bertukar pikiran dalam rangka memikirkan hak-hak perempuan di Indonesia yang seringkali menjadi sasaran empuk alat politik dari elit-elit politik dan agama di Indonesia. Partai-partai politik berbasis Islam di Indonesia diharapkan aktif dan kritis mengkawal proses-proses penentuan kebijakan yang berdasarkan Syariah Islam yang dinilai kurang melindungi hak-hak dan ekspresi perempuan. Partai-partai berbasis Islam juga diharapkan mendukung interpretasi progresif atas hukum-hukum Islam yang menyangkut hak-hak perempuan dan kesetaraan gender, karena tanpa dukungan tersebut perempuan di Indonesia hanya akan menjadi komoditas elit politik dan agamawan. Perempuan juga akan kehilangan agensi subyektif di hadapan negara. Kesenjangan hubungan antara beberapa Partai-partai Islam dengan NGO-NGO Perempuan perlu dijembatani lebih lanjut agar tercipta dialog yang lebih komprehensif dan kondusif untuk mempertahankan agensi perempuan dalam setiap proses Islamisasi kebijakan yang dilakukan oleh negara.

--
Sesungguhnya, hanya dengan mengingat Allah, hati akan tenang.

Milis Eramuslim
Dikirim oleh: lasykar5
Senin, 7 April 2008


Cetak Artikel
  Cetak Artikel