Kaligrafi Nama AllahLogo Situs Keluarga ilma95
Home
 ~  Home
 | 
Pedoman Shalat
Pedoman Shalat
 | 
Ilmu Tajwid
Ilmu Tajwid
 | 
Pojok Anak
Pojok Anak
 | 
Kumpulan Artikel
Artikel
 | 
Lagu Rancak Ranah Minang
Lagu Rancak
Ranah Minang
 | 
Cerdas Cermat Islami
Cerdas Cermat Islami
 | 
Edukasi
Edukasi
 ~ 
 




http://akmal.multiply.com/journal/item/664/Hamka_Tanpa_Haq

Akmal Sjafril*

Assalaamu'alaikum wr. wb.

Jaman sekarang ini, salah sebut nama bisa berakibat fatal. Dua nama yang persis sama bisa dipersepsikan dengan cara yang amat berbeda. Bagi sebagian besar umat Islam, nama Imam al-Ghazali identik dengan "Ihya' 'Ulumuddin", pendidikan, aqidah yang lurus, dan hal-hal baik lainnya, meskipun sebagai manusia beliau pun pasti punya kekurangan. Akan tetapi jika Anda bertanya pada Zainun Kamal (salah satu dosen UIN beraliran ultra-liberalis), maka al-Ghazali adalah salah satu oknum yang paling bertanggung jawab atas kejumudan umat masa kini, dan identik dengan tasawuf yang tak jelas juntrungannya, bahkan juga disebut-sebut sebagai orang yang bertapa lantaran frustasi tak mampu memahami filsafat.

Sebagai tokoh besar, nama al-Ghazali juga banyak dipakai orang. Tokoh-tokoh lain yang menggunakan nama al-Ghazali diantaranya adalah Muhammad al-Ghazali. Antara Imam al-Ghazali dan Muhammad al-Ghazali jelas ada perbedaan besar, dan kita tidak boleh keliru mengidentifikasi keduanya. Demikian juga al-Qurthubi jangan pernah disamakan dengan Sumanto Al Qurthuby (tokoh ultra-liberalis lainnya yang menulis buku "Lubang Hitam Agama"), dan na'uudzubillaah, jangan pernah perbandingkan Muhammad saw. dengan Mohammed Arkoun (salah satu tokoh yang bersikeras menentang kesucian ayat-ayat Al-Qur'an), biarpun nama depannya mirip.

Nama adalah doa, namun memang tidak semua doa di-ijabah. Kadang-kadang orang tua memberi nama anaknya dengan nama seorang ulama besar, namun apa dinyana setelah dewasa anak itu malah tambah jauh dari ulama besar tersebut. Yang paling miris adalah jika anak itu kemudian tumbuh besar dan memfitnah ulama besar yang namanya diambil itu.

Demikianlah jurang menganga antara Buya Hamka dan Hamka Haq. Yang satu adalah ulama besar Asia Tenggara (Malaysia dan beberapa negara lainnya sudah menyatakan 'klaim' bahwa Buya adalah ulama milik mereka juga), sedangkan yang satu lagi adalah tokoh yang entah datang dari mana, namun namanya langsung melejit sebagai Ketua PP Baitul Muslimin. Sekiranya Anda bertanya-tanya, saya jelaskan di sini: Baitul Muslimin adalah lembaga keislaman yang didirikan oleh PDIP. Kualitas diantara keduanya jauh berbeda, dan hal ini semakin diperjelas belakangan ini.

Baru-baru ini, PDIP (dengan Baitul Muslimin sebagai ujung tombaknya) mengadakan acara peringatan 100 tahun Buya Hamka. Ide ini sangat menggelikan bagi sebagian orang yang mengenal sejarah. Pasalnya, Hamka pernah dipenjarakan oleh Soekarno tanpa alasan yang jelas. Ideologi Hamka jelas bertentangan secara diametrikal dengan Soekarno, sebagaimana para ulama umumnya tidak mungkin bisa sejalan dengan prinsip Nasakom ala Soekarno.

Semua orang tahu bahwa Buya Hamka adalah pribadi yang lembut, santun, dan sangat pemaaf. Hubungannya yang sangat erat dengan Allah SWT membuat beliau tak pernah berprasangka buruk atas segala taqdir yang harus dijalaninya. Masa-masa hidupnya di penjara, betapa pun menyakitkan, namun juga dianggapnya penuh dengan hikmah. Salah satu hikmah yang bisa dipetik buahnya hingga kini adalah tuntasnya penyusunan Tafsir Al-Azhar, yang menurut Hamka, tidak mungkin terselesaikan kalau ia tidak dipaksa untuk menyendiri dari segala urusan, dan ternyata hal itu bisa didapatkannya di penjara.

Buya Hamka sendiri tak pernah mengungkit-ungkit masalah dengan orang-orang yang pernah menzaliminya, termasuk terhadap Soekarno. Ketika Soekarno meninggal dunia, beliau datang dan ikut menshalatkannya. Para pengagum Hamka mengatakan bahwa hal ini adalah bukti kebesaran hati Sang Buya. Akan tetapi, Taufik Kiemas punya teori lain.

Menurut Kiemas, kenyataan bahwa Hamka ikut menshalatkan Soekarno adalah bukti persahabatannya. Teori ini sangat lemah dan sebenarnya memalukan. Pertama, karena sebejat-bejatnya perilaku seorang Muslim, selama ia masih Muslim, maka ia berhak dan wajib dishalatkan ketika sudah wafat. Kedua, ada sekian banyak hadits yang menjelaskan keutamaan menshalatkan Muslim yang baru wafat, dan sebagai ulama, Buya Hamka tak mungkin tidak mengetahuinya. Ketiga, hal ini justru menelanjangi pola pikir Taufik Kiemas yang memandang Buya Hamka dengan menggunakan dirinya sendiri sebagai cermin, sehingga nampak seolah-olah Hamka hanya mau menshalatkan kawannya saja. Padahal, umat Islam yang awam pun sering menshalatkan saudaranya sesama Muslim yang tidak dikenalnya di masjid-masjid. Barangkali hanya Taufik Kiemas sajalah yang bisa menyimpulkan adanya hubungan perkawanan hanya karena yang satu menshalatkan jenazah yang lain.

Diantara seluruh berita simpang-siur tentang Buya Hamka ini, yang paling tidak bisa diterima dengan akal sehat adalah pernyataan yang keluar dari lisan Hamka Haq di bawah ini:

"Dia berpendapat semua manusia akan masuk surga. Semua agama punya kebenarannya masing-masing."

Ucapan ini sangat menyedihkan dan tak bernilai intelektual sedikitpun. Jika Hamka Haq membaca Tafsir Al-Azhar dengan mata terbuka, maka ia tidak perlu menunggu lama hingga sampai pada pembahasan Hamka mengenai ayat terakhir dalam surah Al-Fatihah. Di sana, terang-terangan Hamka menjelaskan pendapatnya tentang "kaum yang dimurkai" dan "kaum yang tersesat".

Jika ditelusuri, tidaklah terlalu mengherankan jika Hamka Haq memilih pendapat yang sangat cacat seperti ini. Dalam rangkaian acara Peringatan 100 Tahun Buya Hamka tersebut, diadakan pula simposium berjudul "Membina Pluralisme, Membangun Peradaban Demokratis". Pembicaranya? Diantaranya adalah Ahmad Syafii Maarif, Sukardi Rinakit, dan Yudi Latif.

Terhadap Ahmad Syafii Maarif perlu diberikan catatan khusus. Tokoh yang satu ini pernah memotong-motong tafsir Buya Hamka mengenai Q.S. Al-Baqarah [2]: 62 sehingga nampak seolah-olah Hamka mendukung pluralisme. Dengan lihainya, Syafii Maarif tak pernah menyebut-nyebut Hamka sebagai tokoh pluralisme, namun artikelnya dimanfaatkan secara bombastis oleh para kader sekularis-liberalis-pluralis demi kepentingannya sendiri. Terhadap artikel Syafii Maarif tersebut (yang juga cacat secara akademis), saya telah membantahnya.

Benang merahnya sudah terlihat jelas. Kaum sekuler-liberal ramai-ramai merapat ke PDIP, dan menyatukan kekuatan di sana. Baitul Muslimin didirikan untuk menarik sebanyak mungkin umat Islam yang tidak menyadari jurang perbedaan yang menganga antara ajaran Islam dan pluralisme. Dari sini, kita belajar banyak untuk berhati-hati dan tidak mudah percaya pada orang, apalagi memberikan penilaian hanya dengan melihat namanya saja. Hamka dan Hamka Haq memang memiliki nama yang mirip, tapi barangkali memang hanya itulah kesamaannya.

Wassalaamu'alaikum wr. wb.

* Peserta Program Pascasarjana Pendidikan dan Pemikiran Islam, Universitas Ibnu Khaldun - Bogor

Milis Eramuslim
Dikirim oleh: lasykar5
Jum'at, 11 April 2008


Cetak Artikel
  Cetak Artikel